“Ngeri”-nya Uang Panai’ untuk melamar Wanita Bugis-Makassar

Uang Panaik

Heboh semalaman

Tidak perlu lagi dijelaskan. Berita ini menjadi perbincangan yang panas sepanjang malam, terutama bagi saya dan saudara sekampung yang kini sedang berada di tanah rantau. Memang sih, kalau menikah itu wajar bahkan menjadi kewajiban kita, apalagi dengan niat untuk menyempurnakan agama.

Pasti banyak yang belum mengerti bahkan tidak familiar dengan istilah “Uang Panai'” terutama yang sama sekali tidak mengerti adat suku Bugis-Makassar.

Jadi, dalam tradisi pernikahan adat suku Bugis-Makassar, tidak hanya mematokkan mahar sebagai syarat pernikahan, tetapi ada juga uang naik (panai’) yang harus disiapkan ketika sebelum memutuskan untuk menikah.

Uang panai’ adalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan lainnya. Uang panai’ ini tidak terhitung sebagai mahar penikahan melainkan sebagai uang adat namun terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak atau keluarga.

Kalimat Uang Panai’ makin hari menjadi momok bagi para pemuda Bugis-Makassar yang ingin melamar pujaannya terlebih jika ia berasal dari suku yang sama. Mengapa seperti itu? Sudah jadi rahsia umum jika uang panai’  nominalnya sangat tinggi bahkan mencapai miliaran. Apalagi jika wanita yang ingin dilamarnya memiliki ciri seperti ini:

  • Tingkat strata sosial yang tinggi (Karaeng, Andi, Puang).
  • Berasal dari golongan darah biru (Raja Gowa, Bone)
  • Pendidikan yang tinggi (S1, S2, S3, Prof. Dr…..)
  • Cantik *semua pasti miliki ini*
  • Anak tunggal
  • Dari keluarga berada dan terpandang
  • Memiliki pekerjaan yang tetap (PNS, Dokter, Guru)
  • Hajjah

Ini saya sisipkan sedikit gambaran mengenai Uang Panai’ yang pernah jadi trending topic anak muda saat kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Jangan shock yah.

Yang mana kategori kalian readers? Hihihihi

Yang mana kategori kalian readers? Hihihihi

Bahkan ada beberapa anak muda (termasuk teman sekolah saya) yang sering melontarkan candaan seperti ini  :

Tamat SMA: 50 juta
Tamat S1: 75 juta
Tamat S2 + cantik: 100 juta
Tamat S2 + cantik + haji + PNS + anak satu-satu (tunggal) : takkala bunuh ma! “sekalian bunuh saja diriku”.

Ironi memang, tapi kita tidak akan mampu menghilangkan adat yang telah mendarah daging cukup kental termasuk tradisi ini. Tak jarang uang panai’  terus bertambah nominalnya karena ada campur tangan dari keluarga inti pihak perempuan yang dianggap andil dalam menentukan suatu kesepakatan.

Istilah “Sillariang” (kawin lari bukan kawin sambil berlari) kerap kali muncul dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar ini. Yah, salah satu faktor terjadi karena syarat yang diminta oleh mempelai wanita tidak mampu dipenuhi oleh pihak pria sehingga nekat mengambil jalan pintas demi mempersatukan cinta mereka dengan alasan ingin bahagia.

Namun jika segala ketentuan yang telah ditetapkan kepada pihak keluarga pria dan terpenuhi, sering membuat keluarga dari pihak perempuan merasa senang dan dianggap sebagai kehormatan tersendiri karena:

  1. Rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada mempelai wanita.
  2. Dapat memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panai’ tersebut.
  3. Sebagai bukti bahwa pria tersebut sungguh-sungguh dalam melamar.

Dengan fenomena ini, jangan heran jika uang panai’ seringkali menjadi persaingan sosial seseorang. Contohnya: Si A dilamar oleh kekasihnya dengan mahar 1 hektar sawah dan 1 hektar kebun. Uang Panai’ yang diberikan kepada pihak keluarga A sebesar Rp. 128 juta dan info ini telah tersebar luas hingga sampai di telinga keluarga B. 1 minggu kemudian, si B juga dilamar oleh kekasihnya. Pihak keluarga si B meminta uang panai’ sebesar Rp. 135 juta dengan alasan “Kita harus lebih tinggi dari si A”.

Dari hal ini, kita tau bahwa uang panai’ juga seringkali dijadikan kompetisi bagi beberapa individu dan sebagai ajang adu gengsi. Yang menjadi korban, yah putri mereka. Jadi jangan salahkan takdir ketika anak gadisnya menjadi perawan tua.

Semoga tidak ada korban Uang Panai' lagi.

Semoga tidak ada korban Uang Panai’ lagi.

Etsss, jangan salah dulu, mempelai pria juga bersaing dengan hal ini. Besaran uang naik ini seringkali juga menjadi standar kemakmuran mempelai pria dan juga “kualitas” si mempelai wanita. Sehingga ketika seorang wanita dinikahi oleh pria dengan uang naik yang kecil dapat membuatnya agak malu dengan teman atau saudaranya yang mendapat uang naik yang lebih besar. Demikian pula dengan mempelai laki laki juga akan merasa malu ketika dia tidak dapat memberikan uang naik yang cukup besar bila dibandingkan dengan teman temannya.

Suatu sumber pernah memuat artikel yang menyatakan bahwa mahar (walaupun yang ia maksud adalah uang panai’) wanita tertinggi di Indonesia itu dari suku Bugis, disusul Aceh, Borneo, Padang Pariaman dan terakhir Nias. Namun jangan pernah menganggap bahwa wanita Bugis-Makassar itu materialistis, kami hanya realistis. *Peace*

“Mengapa orang Bugis rajin bekerja? Karena mereka punya banyak keinginan-keinginan. Mereka ingin menikah dengan panai’ (uang naik) yang tinggi. Setelah itu mereka ingin punya rumah. Setelah itu mereka mau naik haji. Kalau sudah haji, mereka ingin kawin lagi. Maka prosesnya kembali dari awal” – Jusuf Kalla

Bagi pria lokal atau yang juga berasal dari suku Bugis-Makassar, memenuhi jumlah uang panai’ juga dapat dipandang sebagai praktik budaya siri’, jadi wanita yang benar-benar dicintainya menjadi motivasi yang sangat besar untuk memenuhi jumlah uang panai’ yang di syaratkan. Sering terjadi saat mempelai pria tak mampu memenuhi permintaan itu, umumnya menebus rasa malu itu dengan pergi merantau dan kembali setelah punya uang yang disyaratkan. Tapi terkadang kenyataan tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Wanitanya telah lebih dulu menikah sebelum ia kembali akibat dorongan keluarga atau terlalu lama sendiri.

Jangan sampai seperti ini yah guys. :)

Jangan sampai seperti ini yah guys. 🙂

Setiap hal akan selalu menimbulkan berbagai persepsi, termasuk adat ini. Sebagian orang yang kurang paham memahami ini sebagai “harga anak perempuan” atau bahkan dipersepsikan sebagai perilaku “menjual anak perempuan”. Bagi pria daerah lain yang membutuhkan modal yang tidak begitu banyak untuk pernikahan seperti pria Jawa, sangat wajar jika mempersepsikan uang panai’ sebagai harga seorang anak perempuan Makassar karena pada daerah asalnya tidak demikian banyaknya. Begitupun dengan individu yang menganggap kemegahan pernikahan bukanlah jaminan sejahteranya kehidupan rumah tangga kedepan.

Kembali ke judul tulisan saya, “Ngeri”-nya Uang Panai’ untuk melamar Wanita Bugis-Makassar, ini bukan menutup akses untuk para pria tidak melamar wanita-wanita dari suku tersebut. Disinilah mental seorang pria yang bersungguh-sungguh diuji. Terkadang ada kalimat lelucon yang muncul mengenai ini, “Lautan akan ku sebrangi, gunung kan ku daki, tapi uang panai’mu tidak mampu ku takluki”.

Wanita Bugis terkenal akan kesetiaannya kepada pasangannya hal ini bisa dilihat dari rendahnya angka perceraian yg terjadi di Sulawesi-Selatan. Selain itu sejak dahulu orang Bugis Sul-Sel terkenal sebagai pelaut ulung meskipun mereka melaut beberapa bulan  hingga tahunan namun istrinya tetap setia menunggu kedatangan suaminya.

Semua kembali ke individu masing-masing, ketika ada niat yang kuat, selalu dibukakan jalan. Tradisi ini bukanlah sebagai media untuk mempertontonkan siapa yang ‘mahal’ siapa yang ‘murah’. Melainkan dari tradisi ini kita belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu, harus berusaha dan bekerja keras untuk memenuhinya.

Mengutip kalimat salah satu blogger handal daerah:

Sebagai perempuan, kita harus pandai melihat diri. Jadilah perempuan Bugis yang materru’ (berani) dan malampe’ nawa nawa (bijaksana dan cerdas) agar kita pantas untuk seorang lelaki yang berkarakter joa (pemimpin) dan memiliki prinsip alempureng (kejujuran) dan assitanajangeng (kepantasan).
Uang panai’ merupakan bentuk penguatan ekonomi dan budaya masyarakat Bugis-Makassar. Akan tetapi, jika sudah melampaui norma-norma kepantasan dan telah melenceng jauh dari yang diamanahkan oleh syariah, akal sehat dan cita-cita dari mereka yang saling mencintai, tentu akan berbeda subtansi dan fungsinya.

Terakhir saya cantumkan foto ‘curhat’ pemuda galau tentang uang panai’ yang artinya: “Ampun deh kalau uang panai’ kamu berlapis-lapis”.

BVzMpiNCEAAaPTy.jpg large

Jadi bagi yang punya pacar, pasangan, calon istri, tunangan ataupun gebetan wanita dari Bugis-Makassar, mulai sekarang harus lebih giat lagi mengumpulkan Uang Panai’ sebelum diambil orang dan menambahkan populasi jomblo di Indonesia.

Sumber:

Berbagai sumber.

125 respons untuk ‘“Ngeri”-nya Uang Panai’ untuk melamar Wanita Bugis-Makassar

  1. Muhammad Habibi berkata:

    Wahhh besaran uang panainya, ditentukan dari kualitas perundingan kedua mempelai y Kak?

    Berarti harus ada diplomat ulung dalam keluarga saya 😀 Minimal lulusan S1 Ekonomi dan S1 Hubungan Internasional 😀
    Bakalan repot ni Kak 😀

    Disukai oleh 1 orang

  2. Nuna Balana berkata:

    wah, mwmang kawin dimakssar di hantui uang Pak nai’, makanya saya merantau mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya dan pulang kekampung membawa duit/harta banyak sekalian isteri… hahaha

    Disukai oleh 1 orang

  3. Sing baca coro berkata:

    Sudahlah, ikuti aturan agama saja, mas kawin itu sudah lebih dari cukup sebagai simbol penghargaan kok, jangan lihat jumlah, tapi hargai niatnya.

    Disukai oleh 1 orang

  4. mawar berkata:

    Kacau.. Gua anak jaksel doi anak makassar. Gila yah uang panai:( harus kah uang panai itu? Gua sayang ama doi. tapi gila bner yah 😀 harus nunggu setahun setengah buat ampe 100 juta … 😀

    Disukai oleh 2 orang

Tinggalkan komentar